Bahasa Indonesia 2020
06.11 Posted In Cerpen Edit This 2 Comments »
Langit sore itu tampak berwarna jingga kemerahan. Sang Mentari menyinari bumi dengan kilau keemasan, mengisi setiap ruas dan jengkal kehidupan hari itu. Awan di langit tampak berarakan ditiup angin petang. Tak hanya menggiring arakan awan ke sana-sini, ia juga meniupkan semilir angin lembut untuk segala makhluk. Pepohonan bergoyang, menimbulkan suara gemerisik daun-daun, beberapa yang kecoklatan terjatuh mencium bumi, dan yang masih hijau tetap kokoh di tempatnya.
Aku kini tengah bersandar di bawah rimbunnya sebuah pohon yang menjulang di salah satu sudut sebuah lapangan rumput, entah pohon apa namanya. Di hadapanku tergeletak sebuah bundel kertas daur ulang milikku. Aku ingin menuliskan sesuatu, namun aku tak bisa. Pikiranku terus menambat fenomena yang kutemukan di kota tadi siang. Aku sama sekali tak bisa membayangkan pada sebelas tahun yang lalu, akan terjadi sesuatu yang sangat membuat hatiku galau, dan hal tersebut akhirnya kutemukan pada hari ini.
Sebuah fenomena masyarakat—yang kupikir—adalah sebuah penetrasi budaya asing atas budaya lokal Indonesia yang sudah sangat keterlaluan. Tak hanya kutemukan kebiasaan asing yang sudah mendarah daging menjadi budaya lokal, tapi…
Bisakah membayangkan jika bahasa Indonesia diucapkan dengan prononunciation bahasa Inggris?
***
Semuanya berawal ketika aku mulai menaiki bus kota, jurusan Jakarta. Ingat, sekarang 2020, jadi semuanya berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Semuanya sudah sama sekali berbeda. Sejak diberlakukannya perdagangan bebas, dapat dengan mudah dilihat orang-orang asing yang berjualan di kota. Bahasa Inggris menjadi bahasa yang kini tak asing dan sering terdengar, semuanya, tanpa pelapisan elemen-elemen masyarakat, hampir semuanya lancar cas-cis-cus berbahasa asing, terutama bahasa Inggris.
Namun efek itu berimbas pada pelafalan bahasa Indonesia.
Lihat saja, ketika aku mulai menyadari apa yang terjadi. Saat itu ada seorang penjual alat-alat tulis yang menawarkan dagangannya. Pertama kali memang aku belum pernah menyadari hal ini sebelumnya, namun aku mulai tersadar dengan fenomena yang membuat miris ini. Ia berkata-kata dengan penuh percaya dirinya.
“Aibyu-aibyu, bepack-bepack, en sowdere-sowdere sekelaien, saye tawerkend alatch-alatch chulis ainai dengeen haage myurakh, sanged myurakh!” (Ibu-ibu, bapak-bapak, dan saudara-saudara sekalian, saya tawarkan alat-alat tulis ini dengan harga murah, sangat murah!)
Ketika aku tersadar, betapa mirisnya, dan betapa tergeraknya rasa nasionalismeku. Namun, aku tak bisa berkata-kata. Pedagang itu melanjutkan tawarannya, juga dengan percaya diri, seakan-akan bangga dengan perusakan lafal bahasa ibunya sendiri.
“Sailaken… sailaken…” (Silakan… silakan…)
Aku hanya sanggup menggelengkan kepalaku. Seperti pedagang lainnya, ia menawarkan jualannya dengan menunjukkan sejenak barang jualannya pada calon pembelinya. Satu-satu ia menunjukkan jualannya, sambil berjalan, lama-lama makin mendekati kursi tempatku duduk. Kutatap wajahnya yang tak memancarkan ekspresi sama sekali.
Aku menemukan keanehan setelah aku menatapnya agak lama.
Ia mengenakan lensa kontak, pupil matanya biru. Kacau!
Aku nyeletuk kepadanya, sambil tersenyum menyindir campur miris.
“Pake lensa kontak, Mas?”
“That’s right… What do you think about my eyes?” katanya nyerocos dengan sangat percaya diri. Aku terdiam, ingin menegurnya tapi tak tega. Nggak nyadar apa? Sok amat sih pake kontak lens segala? Tampang desa aja belagu pake lensa kontak biru biar dikira bule…
Selanjutnya aku hanya sanggup menghela napas panjang, kemudian mataku berpaling ke luar jendela bus.
***
Hanya sesuatu yang sederhana, namun bagiku itu luar biasa seriusnya. Bagaimana tidak, pengucapan bahasa yang dulunya sederhana pengucapannya, kini pengucapannya menjadi aneh.
Kemudian pada akhirnya, pikiranku flashback ke sebelas tahun yang lalu, 2009.
***
Tepat di bawah pohon ini, di sebuah sudut lapangan luas ini, entah pohon apa namanya, aku menuliskan sebuah pinta untuk masa depan. Sebuah prediksi dari feeling-ku yang terdalam, yaitu sebuah rombakan budaya lokal yang akan terjadi di masa depan, melihat kondisi masyarakat pada dekade belakangan ini, maka kemungkinan besar akan terjadi sebuah pemutarbalikan atas tradisi bangsa yang luhur ini.
“Aku mengharap,” kuawali tulisan itu di sebuah bundel kertas daur ulang, “dengan ekspektasi terdalam, dalam hati… Alangkah baiknya bangsa ini tak terpengaruh westernisasi yang berlebihan… Jika ini berlanjut, kelak akan terjadi sebuah kekacauan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya…”
***
Aku kembali ke ragaku, kembali ke tahun 2020. Kutemukan tulisan lusuh itu tepat di balik halaman kosong bundel kertas di hadapanku. Aku hanya sanggup menghela napas dan menggeleng.
Ini semua sudah terlambat… pikirku, semua takkan bisa kembali ke haluannya…
Aku pun juga menyadari, aku telah mengabaikan sebuah pemikiran singkat yang memang agak tak masuk akal pada awalnya, yang rupanya adalah sebuah informasi, dan pada akhirnya hal tersebut memang terjadi.
Yah… Jangan lagi mengabaikan informasi sekecil apapun, apapun itu…[]
Aku kini tengah bersandar di bawah rimbunnya sebuah pohon yang menjulang di salah satu sudut sebuah lapangan rumput, entah pohon apa namanya. Di hadapanku tergeletak sebuah bundel kertas daur ulang milikku. Aku ingin menuliskan sesuatu, namun aku tak bisa. Pikiranku terus menambat fenomena yang kutemukan di kota tadi siang. Aku sama sekali tak bisa membayangkan pada sebelas tahun yang lalu, akan terjadi sesuatu yang sangat membuat hatiku galau, dan hal tersebut akhirnya kutemukan pada hari ini.
Sebuah fenomena masyarakat—yang kupikir—adalah sebuah penetrasi budaya asing atas budaya lokal Indonesia yang sudah sangat keterlaluan. Tak hanya kutemukan kebiasaan asing yang sudah mendarah daging menjadi budaya lokal, tapi…
Bisakah membayangkan jika bahasa Indonesia diucapkan dengan prononunciation bahasa Inggris?
***
Semuanya berawal ketika aku mulai menaiki bus kota, jurusan Jakarta. Ingat, sekarang 2020, jadi semuanya berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Semuanya sudah sama sekali berbeda. Sejak diberlakukannya perdagangan bebas, dapat dengan mudah dilihat orang-orang asing yang berjualan di kota. Bahasa Inggris menjadi bahasa yang kini tak asing dan sering terdengar, semuanya, tanpa pelapisan elemen-elemen masyarakat, hampir semuanya lancar cas-cis-cus berbahasa asing, terutama bahasa Inggris.
Namun efek itu berimbas pada pelafalan bahasa Indonesia.
Lihat saja, ketika aku mulai menyadari apa yang terjadi. Saat itu ada seorang penjual alat-alat tulis yang menawarkan dagangannya. Pertama kali memang aku belum pernah menyadari hal ini sebelumnya, namun aku mulai tersadar dengan fenomena yang membuat miris ini. Ia berkata-kata dengan penuh percaya dirinya.
“Aibyu-aibyu, bepack-bepack, en sowdere-sowdere sekelaien, saye tawerkend alatch-alatch chulis ainai dengeen haage myurakh, sanged myurakh!” (Ibu-ibu, bapak-bapak, dan saudara-saudara sekalian, saya tawarkan alat-alat tulis ini dengan harga murah, sangat murah!)
Ketika aku tersadar, betapa mirisnya, dan betapa tergeraknya rasa nasionalismeku. Namun, aku tak bisa berkata-kata. Pedagang itu melanjutkan tawarannya, juga dengan percaya diri, seakan-akan bangga dengan perusakan lafal bahasa ibunya sendiri.
“Sailaken… sailaken…” (Silakan… silakan…)
Aku hanya sanggup menggelengkan kepalaku. Seperti pedagang lainnya, ia menawarkan jualannya dengan menunjukkan sejenak barang jualannya pada calon pembelinya. Satu-satu ia menunjukkan jualannya, sambil berjalan, lama-lama makin mendekati kursi tempatku duduk. Kutatap wajahnya yang tak memancarkan ekspresi sama sekali.
Aku menemukan keanehan setelah aku menatapnya agak lama.
Ia mengenakan lensa kontak, pupil matanya biru. Kacau!
Aku nyeletuk kepadanya, sambil tersenyum menyindir campur miris.
“Pake lensa kontak, Mas?”
“That’s right… What do you think about my eyes?” katanya nyerocos dengan sangat percaya diri. Aku terdiam, ingin menegurnya tapi tak tega. Nggak nyadar apa? Sok amat sih pake kontak lens segala? Tampang desa aja belagu pake lensa kontak biru biar dikira bule…
Selanjutnya aku hanya sanggup menghela napas panjang, kemudian mataku berpaling ke luar jendela bus.
***
Hanya sesuatu yang sederhana, namun bagiku itu luar biasa seriusnya. Bagaimana tidak, pengucapan bahasa yang dulunya sederhana pengucapannya, kini pengucapannya menjadi aneh.
Kemudian pada akhirnya, pikiranku flashback ke sebelas tahun yang lalu, 2009.
***
Tepat di bawah pohon ini, di sebuah sudut lapangan luas ini, entah pohon apa namanya, aku menuliskan sebuah pinta untuk masa depan. Sebuah prediksi dari feeling-ku yang terdalam, yaitu sebuah rombakan budaya lokal yang akan terjadi di masa depan, melihat kondisi masyarakat pada dekade belakangan ini, maka kemungkinan besar akan terjadi sebuah pemutarbalikan atas tradisi bangsa yang luhur ini.
“Aku mengharap,” kuawali tulisan itu di sebuah bundel kertas daur ulang, “dengan ekspektasi terdalam, dalam hati… Alangkah baiknya bangsa ini tak terpengaruh westernisasi yang berlebihan… Jika ini berlanjut, kelak akan terjadi sebuah kekacauan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya…”
***
Aku kembali ke ragaku, kembali ke tahun 2020. Kutemukan tulisan lusuh itu tepat di balik halaman kosong bundel kertas di hadapanku. Aku hanya sanggup menghela napas dan menggeleng.
Ini semua sudah terlambat… pikirku, semua takkan bisa kembali ke haluannya…
Aku pun juga menyadari, aku telah mengabaikan sebuah pemikiran singkat yang memang agak tak masuk akal pada awalnya, yang rupanya adalah sebuah informasi, dan pada akhirnya hal tersebut memang terjadi.
Yah… Jangan lagi mengabaikan informasi sekecil apapun, apapun itu…[]
2 komentar:
senang bisa bepergian ke semua tempat, tanpa terikat waktu,tempat dan keadaan
salam kenal
Salam!
Posting Komentar